Hatiku rapuh, air mataku mengalir tak ada hentinya, aku selalu meratapi nasib di sudut kamarku. Malam yang sepi bahkan sangat sepi hanya terdengar isakan dari tangisanku.
Aku bertanya kepada diriku sendiri mengapa tidak ada yang bisa ngertiin aku. Yah, aku menangis karena nasibku yang sangat malang.
“Kenapa aku selalu salah di mata kedua orang tua ku, dimana letak kasih sayang Ibu dan Ayahku?” sambil menangis.
Kukunci kamarku dan kututupi wajah dengan bantal agar tidak terdengar tangisanku, terlelaplah aku di sepertiga malam. Pagi menjelang, matahari pun memancarkan sinarnya lewat celah celah jendela sukses yang membangunkanku dan kubuka jendela sambil menghirup udara segar. Burung-burung yang berkicau seolah olah memanggilku. Kupikir kejadian semalam hanya sebuah mimpi ternyata ini sebuah kenyataan, tubuhku yang lesuh dan lemah berjalan menuju cermin besar yang ada di kamarku. Aku melihat mata sembab yang menggambarkan sejuta kesedihan dan kekecewaan. Melihat sesosok yang ada di cermin itu aku hanya bisa tersenyum pahit.
Setelah melihat diriku yang tidak berguna ini, segera aku melanjutkan langkah kecilku menuju dapur. Aku selalu mencuci piring, bersih bersih rumah bahkan masak pun aku yang mengerjakannya sebelum berangkat ke sekolah. Biarpun tubuhku lelah tapi dengan pekerjaan ini bisa mengurangi beban ibuku.
Tiba tiba piring pun jatuh dari tangan yang lesu ini. Aku sangat merasa ketakutan.
“Aku pun langsung membersihkannya sebelum ibuku datang,” ucapku di dalam hati.
Kalau ibu tau pasti aku dimarahin setelah membersihkan serpihan piring tadi aku sadar bahwa jam sudah menuju 06.30 WIB. Aku pun langsung menyambar handuk dan menuju ke kamar mandi yang ada di dapur.
“Selesai juga,” gumamku.
Setelah merapikan jelbabku sebagai sentuhan terakhir dan siap untuk berangkat ke sekolah SMAN 2 ABDYA tercinta. Aku pun langsung menyambar kunci motor yang ada di dalam laci ruang tamu dan segera aku melajukan sepeda motorku tanpa sarapan. Berpamitan bahkan sapaan kepada orang tua yang aku hormati dan aku sayangi karena kekecewaan semalam masih mengusik pikiranku.
Dalam perjalanan menuju sekolah aku teringat pada kejadian semalam yang menjadi malam terpahit dalam hidupku. Ingin rasanya aku menghilang dari bumi ini dan dari kerasnya kehidupan yang aku rasakan ini,namun tetap saja aku tak bias. Air mata pun keluar lagi dan lagi hingga tak terasa aku sudah berada di gerbang sekolah.Senyuman pun menyambutku dari sekumpulan guru dan aku pun langsung memarkirkan motorku dan bersalam dengan guru tersebut,
“Kenapa bisa telat hari ini Lia dan kenapa matanya sembab?” seorang guru bertanya kepadaku.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku dan menuju ke kelas. Aku duduk dibarisan paling depan. Lagi dan lagi kejadian semalam masih terpikir olehku.
“Aku bintang di kelas tapi kenapa ya aku selalu salah dan kenapa orang tuaku sering berantem ya?” gumamku dalam hati.
Tidak aku sadari bahwa teman temanku sedang sibuk mempertanyakan keadaanku yang berbeda dari hari biasanya. Biasanya aku seperti sesosok gadis yang tidak pernah menangis.Tanpa menjawab apapun aku langsung menuju kantor karena ada guru yang memanggilku.
Tibanya di kantor guru pun bertanya kepadaku “Lia kamu kenapa, kamu gak apa apa kan?” jawabku singkat.
“Lia tidak apa apa Bu,”
“Tujuan ibu memanggil Lia kesini untuk membicarakan tentang kompetisi debate, Lia terpilih dan harus mengikuti bimbelnya, apakah Lia siap?
“Insya Allah Lia siap Bu,”
Setelah berbincang dengan guru tersebut aku pun melangkah menuju ke kelas kembali dan bel pulang pun berbunyi. Aku langsung mengambil tasku dan melajukan motorku dengan sangat kencang.
Tibalah di depan rumah, ucapku dengan penuh keraguan, “apa aku harus pulang ke rumah ini lagi”.
Terdengar bunyi piring yang sengaja dilempar. Aku pun langsung memasuki rumah dengan rasa ketakutan. Aku melihat ibu dan ayahku sedang beradu mulut dan ternyata yang melempar piring tadi adalah ayah ku karena tidak sanggup menahan ocehan ibuku yang tidak hentinya.
“Pengeluaran semakin besar, pendidikan anak semakin tinggi, masih mau kerja sebagai petani yang hasil panennya tidak menentukan?” ucap ibuku dengan nada marah.
Dengan penuh rasa marah ayahku pun melangkah ke ruang tamu. Lagi dan lagi ibuku berantem karena ekonomi keluarga. Setelah kejadian itu aku pun langsung ke kamar dengan raut wajah yang sedih.
“Walaupun nilai rata rata ku tinggi aku tidak akan melanjutkan perguruan tinggi dengan jerih payah orang tuaku,” pikirku.
Akupun langsung mengganti pakaian dan menuju ke meja makan untuk makan siang yang sudah terlambat karena kejadian tadi.
Dengan penuh rasa takut aku bertanya kepada ibuku yang sedang menjahit, “Bu aku terpilih untuk mengikuti lomba debat dan mulai hari ini aku bimbel,boleh kan Bu?”
“Tidak ada bimbel, orang lain juga sekolah tapi tidak sibuk sepertimu,” ibu menjawab dengan raut wajah yang masam.
“Bu aku ingin sukses, kenapa aku selalu salah, apakah ibu menyesal punya anak sepertiku?”
“Ya aku kecewa sama kamu dan anak durhaka sepertimu tidak akan sukses,” jawaban Ibuku sambil beteriak
Saat itu aku seperti kehilangan arah. Lagi dan lagi ibuku mematahkan semangatku yang pada umumnya dukungan itu berasal dari orang tua. Perdebatan pun terus terjadi. Tidakku sangka ayahku mendengar perdebatanku dengan ibuku,
Tiba-tiba ayahku menamparku karena aku membantah dari ibuku. Dengan rasa sakit dan tangisan aku pun lari menuju kamar. Aku selalu mengeluarkan air mataku di rumahku. Sangat berbeda dengan kehidupan teman temanku yang merasa bahagia ketika dirumah dan bisa tertawa lepas. Akhirnya aku pun sadar aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan umurku yang masih 16 tahun ini. Aku hanya bisa merenungi nasib di sudut kamarku.
“Aku kan anak pertama jadi aku harus kuat,” pikirku.
Aku sadar bahwa kehidupanku yang terlihat utuh walau di dalamnya runtuh. Dengan penuh keyakinan aku tetap tidak akan berputus asa. Aku yakin aku bisa berjuang sendiri dan aku bisa memperbaiki ekonomi orang tua ku. Aku harus jadi contoh terbaik untuk adik-adikku dan aku tidak mau penderitaan ini dirasakan oleh adik adikku.
Yulia Saputri
SISWA SMAN 2 ACEH BARAT DAYA