Terkadang kita tidak bisa menghargai diri sendiri padahal yang paling berharga yang dimiliki oleh setiap manusia adalah diri sendiri.
Hampir semua kaum remaja mengalami stress setiap harinya yang karena selalu membandingkan diri mereka dengan orang lain. Semua yang dimiliki oleh orang lain terlihat begitu sempurna dan amazing dimata para remaja.
Circle pertemanan yang toxic juga menjadi salah satu ajang perlombaan membandingkan diri dengan orang lain dan ajang bakat menghina kekurangan orang lain. Tak terkecuali aku.
Dimulai sejak kelas X SMA, aku tidak pernah ingin menyapa atau mengobrol dengan orang asing duluan. Dengan pribadi yang seperti ini aku menemukan dua teman yang menurutku sefrekuensi denganku. Namanya adalah Melsa dan Delina.
Kami sangat akrab dan sering menghabiskan waktu bersama baik di sekolah ataupun di luar sekolah. Kami sering hangout, foto-foto, cerita masalah keluarga, bahkan kami pernah tidur bersama di rumah Delina. Kami sudah seperti keluarga dan kami juga memiliki janji untuk tidak saling meninggalkan. Kami berencana untuk ngekos bareng saat kuliah nanti.
Di sekolah kerjaan kami hanyalah mengobrol, tidak menulis, dan kami juga sering bolos. Hal ini terlihat keren di sudut pandangku. Saat bersama mereka aku merasa seperti menemukan arti keluarga yang sebenarnya.
Aku dan Melsa sangat memperhatikan penampilan. Kami juga sangat senang belanja serta jalan jalan, tak heran aku tidak pernah ada waktu di rumah. Kegiatanku hanyalah jalan bersama mereka seharian suntuk. Kami sering bergibah, menertawakan fisik orang lain, merendahkan orang lain, bahkan sircleku ini juga sering merendahkan aku serta mengejekku. Dulu aku merasa kalo itu adalah sebuah candaan biasa saja.
Aku sangat sayang pada mereka. Aku selalu setuju dengan apapun yang direncanakan mereka bahkan aku berfikir bahwa aku hanya bisa bahagia hanya dengan bersama mereka. Aku sangat takut kehilangan kedua sahabatku ini.
Dengan rasa sayang yang sangat dalam, mereka malah semakin tidak menghargaiku. Ada suatu momen ketiak mereka mengatakan aku seperti “anak SD’’ sambil tertawa terbahak bahak. Sebenarnya aku ingin menangis saat itu, tap entah kenapa kata itu sangat menyakitkan bagiku.Ya, seperti biasa aku hanya bisa tertawa walaupun mata ku sudah berkaca kaca.
Tidak hanya itu, aku juga sering bertengkar dengan ibuku karena membela mereka.A ku rela berdebat dengan ibuku demi dua sahabat ku ini. Hubunganku dengan ibu semakin hari semakin merenggang. Aku selalu menghabiskan waktuku dengan mereka. Semakin lama aku menghabiskan waktu bersama mereka maka akan semakin banyak hinaan yang aku terima. Semakin banyak ejekan, komentar pedas, dan mereka juga tidak membiarkanku untuk belajar atau mendengarkan penjelasan guru. Semakin hari sikapku semakin kurang hajar kepada ibu. Aku gampang emosi dan aku juga sangat kasar dengan adikku. Aku melampiaskan amarahku kepada ibu dan adikku.
Sampai suatu ketika tiba waktu liburan akhir semester. Entah keajaiban apa yang menimpaku, aku menangis sejadi jadinya di kamar. Aku memikirkan semua hinaan mereka dan aku juga memikirkan kesalahku kepada ibuku. Aku sadar mereka hanya memamfaatkan kebaikanku dan tidak menghargaiku sama sekali. Aku sadar candaan mereka selama ini adalah hinaan untukku.
Mereka sering membuat lelucon tentang kekuranganku dan mereka berhasil merubah karakterku menjadi sangat buruk. Suatu hari mereka jalan-jalan tanpa mengajakku, mereka bersenag senang walaupun tanpa kehadiranku. Dari sini aku mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Malam itu aku curhat dan menangis di pelukan ibuku. Aku sadar bahwa orang yang selama ini aku utamakan, aku bela habis habisa, aku sayangi, ternyata mereka tidak pernah mengganggapku ada. Mereka tidak pernah menghargaiku, mereka hanya memamfaatkan kebaikanku dan mereka tidak membutuhkanku untuk bahagia. Ibu yang selama ini aku abaikan, aku debat, dan sering kulawan, ternyata dialah yang memelukku saat rapuh, mengajarkan aku berdiri saat jatuh, dan dia tetap akan membelaku bahkan di saat dunia menentangku.
Aku sangat merasa bersalah pada ibuku. Aku meminta maaf padanya atas segala tindakan ku yang kurang ajar. Aku pun memberanikan diri untuk berkata tidak kepada mereka untuk pertama kalinya, aku berani meninggalkan mereka, aku tidak peduli lagi dengan apapun yang akan mereka katakana tentangku.
Mulai saat itu aku berjanji kepada diriku untuk menjadi pribadi yang lebih baik, untuk lebih menghargai diriku. Aku tanamkan di dalam hatiku, aku berhak bahagia,diriku berhak dihargai, aku sempurna dimataku,aku berpotensi, dan aku orang yang baik.
Aku semakin jauh dari mereka,dan akhirnya aku berhasil menghargaiku diriku sendiri. Hari demi hari, aku mulai menata kehidupanku kembali. Hubunganku dan ibuku mulai membaik, bahkan sekarang kami seperti teman yang sangat akrab. Semua hal baik mulai menghampiriku, aku bahkan bisa meraih peringkat satu di semester awal kelas dua.
Semuanya mulai kukendalikan satu persatu. Aku tidak peduli dengan pendapat orang lain. Memang banyak yang mengonmetari ku, misalnya “Kamu ga cocok pake baju gamis, kamu terlihat lucu,sok alim, sibangsat taubat” banyak lagi si sebenarnya, tapi aku tidak pernah tertanggu dengan itu.
Aku sangat tidak peduli dengan apapun yang mereka katakana. Toh, aku hidup bukan untuk menjadi apa yang mereka mau. Aku hidup untuk diriku sendiri, untuk ibu, untuk ayah, dan untuk adikku.
Aku sangat bersyukur kepada Allah karena telah memberiku titik terang dalam hidup. Aku sekarang merasa sangat bahagia dengan diriku, tanpa menggantungkan kebahagiaanku pada orang lain. Hal yang aku simpulkan dari pengalaman ini, hidup adalah sebuah pilihan dan logika. Jika kamu telah memilih jalan hidupmu jangan lupa untuk memakai logika saat menelusuri jalan yang kau pilih agar tidak tersesat ke tempat yang tidak cocok denganmu.
Belajarlah menghargai dirimu sendiri, percaya pada dirimu kalo kamu bisa. Lepaskanlah lingkungan yang toxic karena kamu hanya akan sesak di dalamnya, dan kamu tidak akan berkembang.
Sekali lagi kamu berharga dan kamu sempurna.
Tiara Armika
Siswa SMAN 2 Aceh Barat Daya